Kamis, 29 Oktober 2015

5 Alasan Kita Perlu Menyelamatkan Diri dari Acara Televisi di Indonesia

Siaran televisi adalah satu aspek yang tidak pernah bisa lepas dari kehidupan orang Indonesia. Tayangan televisi menjadi hiburan yang paling gampang dan paling murah untuk diakses oleh semua kalangan. Sayangnya, kualitas tayangan televisi Indonesia semakin hari tampak semakin buruk.

Meskipun awalnya sekadar sarana untuk menghibur, namun tidak bisa dipungkiri bahwa gaya hidup masyarakat sangat bergantung pada televisi. Banyak sekali dampak negatif tayangan televisi yang mempengaruhi hidup masyarakat. Berikut beberapa alasan mengapa Anda harus meninggalkan acara TV di Indonesia.

1. Sinetron Penuh Adegan Bully

Bully atau tindak kekerasan adalah hal yang sangat wajar terjadi dalam sinetron Indonesia. Sulit rasanya menemukan sinentron remaja yang di dalamnya tidak terdapat aksi saling caci-maki bahkan saling serang secara fisik. Banyak remaja yang salah tanggap dan justru merasa bully itu adalah tindakan keren, hanya karena adegan itu dilakukan oleh seleb dalam sinetron.

Sinetron Penuh Adegan Bully
Sinetron Penuh Adegan Bully [imagesource]

Lihat juga

Bully tidak hanya mencakupi serangan fisik, namun juga verbal atau kata-kata. Kita tentu sudah biasa mendengar kata cacian dan makian keluar di tayangan sinetron. Dan kata-kata semacam itulah yang ditiru oleh remaja, atau mirisnya, anak-anak.

2. Infotainment Ditayangkan Seharian Penuh

Infotainment adalah sebuah tayangan informasi yang memuat serba-serbi kehidupan selebritis. Di dalamnya, kita bisa menemukan gosip terbaru para seleb, mulai dari yang melahirkan, bercerai, berselingkuh hingga tersangkut kasus hukum. Semua dipertontonkan seolah-olah itu penting untuk diketahui masyarakat. Berita yang tidak terkonfirmasi kebenarannyapun diberitakan seolah-olah hal itu fakta.

Infotainment Ditayangkan Seharian Penuh
Infotainment Ditayangkan Seharian Penuh [imagesource]

Infotainment tidak hadir seperti sinetron yang hanya tayang pada malam hari. Infotainment hadir mulai dari pagi, siang, hingga jelang malam hari. Jarang sekali ada inspirasi positif yang bisa kita ambil dari infotainment. Kebanyakan, para seleb yang hadir di infotainment hanya untuk mengumbar harta atau sensasi.

3. Acara Berita Digunakan untuk Menggiring Opini Publik

Di Indonesia teradapat sejumlah stasiun televisi yang khusus menayangkan acara berita. Namun, sayangnya, berita yang mereka sajikan seringkali tidak netral dan mengandung muatan politik. Bahkan, banyak dari acara berita hanya digunakan sebagai sarana menggiring opini publik tentang seorang tokoh/politisi.

Acara Berita Digunakan untuk Menggiring Opini Publik
Acara Berita Digunakan untuk Menggiring Opini Publik [imagesource]

Berita yang kita terima tidak lagi netral. Isu yang diangkat oleh suatu televisi, bisa jadi hanya untuk menjatuhkan tokoh yang memiliki hubungan dengan televisi lain. Kita hanya dijadikan sasaran pencitraan dan strategi politik dari sebagian kalangan.

4. Penebar Sensasi Lebih Disorot dari yang Berprestasi

Banyak orang-orang berprestasi di Indonesia. Baik di bidang seni, pengetahuan dan teknologi, sebenarnya banyak anak bangsa yang berprestasi. Namun, berita tentang prestasi sepertinya tidak diminati oleh masyarakat. Kita justru lebih suka hal-hal berbau sensasi.

Penebar Sensasi Lebih Disorot dari yang Berprestasi
Penebar Sensasi Lebih Disorot dari yang Berprestasi [imagesource]

Tidak heran jika para selebriti berlomba-lomba ‘bersandiwara’ dan menciptakan skenario sensasi. Artis A mendadak berpacaran dengan artis B dan belakangan diketahui bahwa mereka tergabung dalam sebuah produksi film. Hal-hal settingan semacam itu sudah jadi hal yang lumrah di pertelevisian Indonesia.

5. Profesionalitas Dinomor-duakan

Setiap muncul berita duka atau bencana, di situlah jurnalisme Indonesia menunjukkan kebobrokannya. Stasiun televisi sering kali menunjukkan gambar-gambar kurang manusiawi berupa mayat korban. Tayangan tersebut disiarkan tanpa proses sensor. Hingga mayat yang sedang dalam kondisi mengenaskanpun dijadikan tontonan.

Profesionalitas Dinomor-duakan
Profesionalitas Dinomor-duakan [imagesource]

Padahal, dalam undang-undang jurnalisme telah dijelaskan bahwa stasiun TV atau media massa tidak boleh menayangkan tubuh/mayat korban secara vulgar karena hal itu akan menyakiti hati para keluarga korban. Namun demi rating, tampaknya peraturan itu diabaikan. Dan kesalahan jurnalisme semacam ini telah dilakukan berulang-ulang.

Kita harus belajar pada jurnalisme di Jepang. Negara tersebut hampir tiap tahun dilanda musibah besar dan menewaskan ribuan nyawa. Namun, tidak sekalipun mereka pernah menampilkan mayat bergelimpangan atau orang-orang yang terluka. Karena memang itulah etika jurnalisme yang harus dijunjung tinggi.

Dengan lima pertimbangan tersebut, mungkin Anda ingin meninggalkan acara TV Indonesia. Atau, mungkin Anda tetap ingin bertahan. Namun, sudah saatnya Anda memilih tayangan yang memberi manfaat kepada Anda atau tidak. (HLH)

Sumber

0 komentar

Posting Komentar